Sabtu, 19 April 2025

Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin, Saksi Bisu Perjalanan Tionghoa di Kota Angin

  • 28 Januari 2025 12:51

Hok Tek Tjeng Sin, Kelenteng Tertua di Majalengka dengan Usia Sekitar 200 Tahun (Potret : Jilly Ortega/Pustakawarta.com)

Majalengka, Pustakawarta.com - Majalengka, sebuah kota yang lekat dengan julukan "Kota Angin," menyimpan kekayaan sejarah yang tak ternilai. Salah satunya adalah keberadaan Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin, yang berdiri megah di Jalan Raya KH Abdul Halim.

Kelenteng ini diyakini menjadi salah satu tempat ibadah Tionghoa tertua di Majalengka, dengan usia sekitar 200 tahun, berdasarkan tulisan pada atap genteng yang menunjukkan tahun pembangunannya, yaitu 1803.

“Hok Tek Tjeng Sin adalah salah satu kelenteng tertua di Majalengka, dibangun tahun 1803 oleh orang Tionghoa keturunan kita yang berasal dari Cirebon. Beliau bernama Tan Sam Cai yang saat itu singgah di Majalengka,” ujar Nana Rohmana, Akrab disapa Kang Naro, Ketua Yayasan Galur Rumpaka Majalengka Baheula (Grumala), dalam wawancara dengan Pustakawarta (27/01/2025).

Awalnya, bangunan kelenteng ini merupakan rumah pribadi Tan Sam Cai, seorang saudagar kaya keturunan Tionghoa asal Cirebon. Dalam perjalanan hidupnya, Tan Sam Cai juga sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kesultanan Cirebon dengan gelar Tumenggung Aryawicula.

Berdasarkan keterangan dari buku Sejarah Cirebon karya PS Solendraningrat, Tan Sam Cai meninggal dunia pada tahun 1817. Setelah itu, rumah pribadinya dihibahkan untuk menjadi tempat peribadatan umat Tionghoa.

“Tahun 1803 beliau membangun rumah di Sindangkasih saat itu, nah ini (kelenteng Hok Tek Tjeng Sin) sebagai rumah pribadi. Kemudian, menurut keterangan, setelah menjadi rumah, beliau meninggal. Jadi rumah itu dihibahkan sebagai tempat peribadatan,” tambah Kang Naro, sang penikmat sejarah.

Dikenal Kelenteng Tridharma “Simbol Keberagaman Ibadah”

Selama lebih dari dua abad, Hok Tek Tjeng Sin telah menjadi saksi sejarah panjang masyarakat Tionghoa di Majalengka. Tidak hanya menjadi tempat ibadah umat Tionghoa, kelenteng ini juga melayani penganut Taoisme dan Buddha, sehingga dikenal sebagai kelenteng Tridharma.

“Kelenteng ini disebut juga menjadi kelenteng Tridharma, jadi di sana itu bukan hanya penganut kepercayaan Tionghoa, tapi ada penganut kepercayaan lain seperti Taoisme dan Buddha. Jadi itu ada dua bagian, yang depan sebagai tempat peribadatan orang Tionghoa dan Taoisme, yang belakang sebagai penganut kepercayaan agama Buddha. Jadi disebut Tridharma,” jelas Kang Naro penuh ingat.

Bangunan kelenteng ini telah mengalami beberapa kali revitalisasi, yakni pada 1860-an, awal 1900-an, dan terakhir pada 1923. Meski demikian, keaslian bentuk bangunan tetap dijaga, kecuali bagian pagar yang telah disesuaikan dengan kondisi jalan.

“Tapi secara keseluruhan dari pertama dibangun sampai sekarang itu masih original. Jadi kelenteng Hok Tek Tjeng Sin ini kita bisa membuat keputusan bahwa kelenteng ini adalah satu benda cagar budaya, karena umurnya sudah lebih dari 200 tahun,” imbuh Kang Naro.

Jejak Migrasi Tionghoa di Majalengka

Keberadaan Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang migrasi masyarakat Tionghoa ke Majalengka. Gelombang pertama migrasi tercatat terjadi sekitar tahun 1750, diikuti gelombang kedua pada 1800-an, dan terakhir pada awal 1900-an. Mayoritas pendatang berasal dari daerah Cirebon, seperti Jamblang, serta langsung dari negeri Tiongkok.

“Dulu mah di Majalengka diperkirakan bahwa orang-orang Tionghoa di kota Majalengka ini datangnya dari Jamblang, daerah-daerah Cirebon, kemudian ada yang langsung juga dari negeri Cina itu ya ke sini, sekitar tahun 1750. Tentunya tidak langsung banyak, bergelombang gitu ya. Gelombang pertama 1750, gelombang kedua 1800, gelombang ketiga tahun 1900 awal, sampai 1930-an lah,” jelas Kang Naro.

Namun, seiring berjalannya waktu, populasi komunitas Tionghoa di Majalengka semakin menurun. Salah satu penyebabnya adalah banyak keturunan Tionghoa yang berpindah tempat, seperti menikah dengan orang luar daerah, misalnya dari Jakarta, dan kemudian tidak kembali lagi ke Majalengka.

Kang Naro juga menjelaskan bahwa perubahan besar mulai terlihat pada era Orde Baru, sekitar tahun 1960-an, ketika banyak penganut Konghucu dan masyarakat Tionghoa memutuskan berpindah agama, baik ke Islam maupun agama lain, sebagai bagian dari akulturasi dan asimilasi dengan masyarakat pribumi.

“Jadi populasi orang Cina sekarang sebenarnya ada, tapi sudah mulai berkurang, tidak seperti yang dulu,” tambahnya.

Proses akulturasi ini membuat komunitas Tionghoa di Majalengka terus berkurang, meninggalkan jejak sejarah yang kini hanya bisa dirasakan melalui tempat-tempat bersejarah seperti Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin.

Saat ini, aktivitas keagamaan di kelenteng mulai berkurang, namun tempat ini masih ada dikunjungi oleh umat dari luar daerah, seperti Kalimantan, Jambi, Bekasi, dan Tangerang.

“Aktivitas keagaman di kelenteng itu sebenarnya sekarang itu sudah mulai berkurang. Kenapa? Ya penganutnya sudah berkurang. Paling ada beberapa keluarga lah di kota Majalengka yang masih bertahan di agama mereka. Kemudian ada tamu dari orang-orang Kalimantan yang ke sini, orang Jambi, Bekasi, dan Tangerang yang sering ke sini mengadakan peribadatan di sini,” katanya.

Keunikan dan kepercayaan yang melekat pada Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin menjadikannya istimewa di mata para pengunjung. Banyak umat yang mempercayai kelenteng ini membawa keberkahan dalam kehidupan mereka.

“Memang kalau saya ngobrol dengan orang-orang tamu yang sengaja beribadah di sini, katanya kelenteng Majalengka, Hok Tek Tjeng Sin ini terkenal bagi kaum-kaum mereka. Terkenal bagaimana? Katanya dulu mah ada kepercayaan bahwa setelah beribadah di sini, usahanya jadi makin maju. Konon saya pernah dengar tuh,” beber Kang Naro kepada Pustakawarta.

Saat ini, keberadaan kelenteng di Majalengka hanya tersisa tiga kelenteng aktif, yaitu di Kota Majalengka, Kadipaten, dan Jatiwangi. Keberadaan ini menjadi sisa-sisa sejarah yang berharga di tengah berkurangnya komunitas Tionghoa.

“Di Kabupaten Majalengka yang sekarang yang tersisa itu ya sekitar tiga. Yang pertama ada di Kota Majalengka, yang kedua di Kadipaten, ketiga di Jatiwangi. Dulu saya pernah dengar di Talaga juga ada kelenteng. Di Talaga itu pernah ada juga kelenteng, cuman ketika itu ada eksodus besar-besaran orang-orang Tionghoa di Talaga, kemudian kelenteng juga sekarang berubah jadi bangunan lain, gitu ya,” tutup Kang Naro.

Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin kini berdiri tak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pengingat sejarah panjang dan harmoni keberagaman yang telah menjadi bagian dari kehidupan Majalengka Kota Angin selama lebih dari dua abad. (Jilly Ortega).

Bagikan Berita


Untuk Menambahkan Ulasan Berita, Anda Harus Login Terlebih Dahulu