Aroma Dodol Imlek Liangjulang, Warisan Cinta Tiga Generasi yang Mengharum Hingga Hongkong

- 26 Januari 2025 08:46
Para pembuat dodol China Tn. Iim di Liang Julang (Potret : Tangkapan Layar/Pustakawarta.com)
MAJALENGKA, PUSTAKAWARTA.COM - Terik sore menyelimuti hamparan sawah di Desa Liangjulang, Kecamatan Kadipaten Kabupaten Majalengka.
Di sebuah rumah sederhana di Blok Omas, aroma manis gula merah yang dipadukan dengan wangi pandan menyeruak di udara berpadu dengan gelak tawa para ibu-ibu yang sibuk mengaduk adonan.
Di sinilah lahir salah satu kuliner kebanggaan kota angin, dodol China Tn. Iim, makanan khas Imlek yang menjadi simbol tradisi dan cinta keluarga.
Rumah berwarna abu yang sederhana itu menjadi saksi perjalanan tiga generasi pembuat dodol.
Imelda, pewaris usaha ini tampak berdiri di antara para pencari pundi pundi uang yang membantu memproduksi dodol khusus di setiap Jelang perayaan tahun baru imlek atau yang biasa disebut Xinnian.
"Kalau saya sendiri ngalamin ngikutin orang tua saya itu dari SMP atau sekitar 17 tahun yang lalu. Kayanya ini Generasi ke 3. Ibu papah saya, papah terus saya," ungkapnya.
Usaha ini telah dimulai sejak tahun 1980-an oleh Nenek Kakek dan orang tua Imelda. Kini, setelah lebih dari empat dekade, usaha yang bermula dari dapur kecil ini tetap mempertahankan keaslian rasanya.
"Resep nya pun turunan karena kita jaga rasa. Bahan bahannya ini tanpa pengawet ya, ada gula merah gula putih, ketan dan daun pandan," katanya sambil tersenyum bangga.
Namun, tahun ini menjadi tahun yang istimewa. Jika sebelumnya dodol hanya dikenal di Bandung dan Jakarta, kini pesanan bahkan datang dari Surabaya hingga Hongkong.
"Produksi di imlek sekarang sama tahun lalu itu sebenarnya sama aja, cuma sekarang ada kemajuan karena ngirimnya ada ke Surabaya bahkan Hongkong," ujar Imelda penuh semangat.
Membuat dodol adalah pekerjaan berat yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian.
Selama dua minggu menjelang Imlek, dapur kecil di Blok Omas berubah menjadi pusat produksi yang tak pernah berhenti. Dalam sehari, dibutuhkan setidaknya 120 kilogram ketan dan gula untuk memenuhi tingginya permintaan.
"Kalo lagi rame itu yang membantu bisa mencapai 7 hingga 8 orang. Biasanya kalo mendekati hari raya imlek," jelas Imelda.
Tak hanya itu, pengiriman besar-besaran juga menjadi rutinitas di masa ini.
"Kemarin kita ke Bandung kirim 3 kwintalan," tambahnya ceria.
Setiap potongan dodol adalah cerita tentang dedikasi dan cinta. Bungkusan daun pisangnya yang organik menjadi simbol kesederhanaan, namun tak mengurangi kualitasnya. Bahkan, makanan ini bisa bertahan hingga enam bulan.
"Kalo makanan dalamnya itu bisa bertahan hingga 6 bulan lebih, tapi luarnya kan daun, karena itu organik paling nanti ada bintik-bintik tapi itu aman untuk dimakan," Ujar Imelda.
Di balik harumnya dodol itu, banyak pelanggan bertanya bagaimana cara terbaik menikmati dodol ini. Imelda selalu menjawab dengan penuh semangat.
"Kalo misalkan masih baru (lembek) kita bisa pakai sendok pake kelapa, bisa. Kalo udah agak keras, kita bisa potong, goreng pake telur, pake kelapa juga bisa," ujarnya sambil tersenyum.
Dengan harga Rp40.000 hingga Rp45.000 per kilogram, dodol China Tn. Iim menjadi salah satu pilihan favorit saat Imlek. Tak hanya dijual untuk konsumsi langsung, banyak reseller yang juga memanfaatkan momen ini untuk mengambil keuntungan.
"Rata-rata yang pesan Chinese sih, tapi banyak juga lokal cuma biasanya reseller," jelasnya.
Tahun ini, Imelda memproyeksikan peningkatan omzet hingga 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kini, produk ini juga telah merambah platform belanja online, sehingga lebih mudah diakses oleh pelanggan dari berbagai daerah, bahkan luar negeri.
Meski penjualannya kini semakin besar, Imelda tetap setia menjaga nilai-nilai tradisi keluarganya. Produksi hanya dilakukan menjelang Imlek, menjadikannya sebagai produk "limited edition" yang selalu dinanti.
"Kita setiap musim Imlek saja produksinya, kalo hari biasa itu kita ga produksi," katanya.
Dodol China Tn. Iim bukan sekadar makanan, melainkan simbol kehangatan keluarga dan tradisi yang terus hidup. Bagi Imelda, setiap adukan adonan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang melestarikan cerita dan budaya yang diwariskan keluarganya selama tiga generasi.
"Rasanya bukan cuma manis, tapi ada cinta di dalamnya," tutup Imelda dengan mata berbinar. (*)
Bagikan Berita
Untuk Menambahkan Ulasan Berita, Anda Harus Login Terlebih Dahulu